Sejarah dan Doa, Warisan Rendra untuk Anak Cucu



Judul                         :Doa untuk Anak Cucu
Penulis                      : Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo
Penerbit                    : PT Bentang Pustaka
Tahun Terbit             : Cetakan Pertama, April 2013
Jumlah Halaman      : 94+ foto-foto

Jika anda termasuk kelompok yang menganggap karya sastra adalah sebuah gambaran sejarah, maka buku kumpulan puisi jasanya Rendra ini adalah tepat untuk anda abaca. Memakai judul Doa untuk Anak Cucu, tak kurang dari Sembilan belas judul puisi diracik Rendra dengan begitu apik hingga seolah-olah puisinya sedang bersaksi dengan kejadian sejarah yang terjadi.
Dengan buku ini, catatan tinta hitam sejarah satu persatu terkuak. Tak ada lagi yang Rendra sembunyikan dari pembacanya. Kesedihan dan sebuah energi besar untuk berubah tercermin jelas dalam puisi-puisinya. Rendra pun begitu lihai memainkan nada-nada puisinya, hingga terasa sekali nada-nada pengharapan, kesedihan, kekuasaan hingga perubahan yang didambanya.

Lihatlah sejenak kutipan berikut ini,                                                      
Ada gubernur sarapan bangkai buruh pabrik/ Bupati mengunyah aspal/ anak-anak sekolah dijadikan bonsai/
Membaca sekilas saja kita sudah bisa menebak makna dari puisi di atas. Puisi dengan judul Jangan Takut, Ibu! ini, menggunakan kata-kata yang tak terlalu berdaya pukau meledak-ledak, dengan tanpa mengerutkan jidat pun maknanya sudah bisa ditangkap pembaca. Namun demikian, tenaga-tenaga yang tersimpan dibalik untaian kata-katanya itu membuat seluruh puisi-puisinya terasa begitu hidup.
Tak hanya memberi makna mendalam terhadap puisi-puisinya, Rendra pun berhasil menyampaikan cerita-cerita panjang di balik padatnya sebuah puisi. Bagi saya, membaca puisi-puisi Rendra ini seperti saya sedang menikmati sebuah suguhan drama sejarah. Drama realis yang mengangkat realita kehidupan sosial-budaya taun 0-an yang ia sampaikan dengan mempermainkan simbol-simbol. Hal ini begitu nyata terasa dalam puisinya yang berjudul Sagu Ambon.

“... Pohon-pohon pala di bukit sakit,
Burung burung nuri menjerit,
 Daripada membakar masjid,
 daripada membakar gereja,
 lebih baik kita bakar sagu saja...”

Puisi ini menggambarkan bagaimana mencekamnya peperangan di Ambon. Dengan kata-kata yang tak membuat jidat mengerut, puisi Sagu Ambon ini justru membuatnya sangat menarik untuk dijelajahi lebih jauh lagi. Kesederhanaan bahasa puisi di atas sangat bertolak belakang dengan cerita yang hendak disampaikan Rendra. Puisi ini menuntun fikiran pembaca kembali ke masa silam dimana kekerasan dan ketakberadaban jadi suguhan sehari-hari.
Sejarah dan sebuah doa. Ya, itulah nampaknya yang ingin diwariskan Rendra kepada generasi penerus bangsa. Dengan diawali sebuah puisi doa berjudul Gumamku, ya Alloh, penulis seperti menegaskan bahwa kebutuhan rohani pun ingin ia wariskan kepada anak cucunya. Selain memang sejarah-sejarah luka yang tergambar dari kesembilan belas puisinya. Lirik-lirik pengharapan, seperti nampak dalam kutipan ini:

“…. Umat manusia tak ada yang juara.
Api rindu pada-Mu menyala di puncak yang sepi,
Semua manusia sama tidak tahu dan sama rindu
Agama adalah kemah para pengembara
Menggema beragam doa dan puja
Arti yang sama dalam bahasa-bahasa berbeda.”

Permainan kata-kata berdoa pun tak lupa Rendra sampaikan di pengujung buku ini dengan judul Tuhan Aku Cinta Padamu.
“….. Aku ingin kembali ke jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.
Tuhan, aku cinta pada-Mu.”

Menarik memang, diawali dengan alunan kata-kata pengharapan, diakhiri pula dengan sebuah pengharapan.
Bagi anda yang ingin mengetahui sejarah-sejarah kelam dengan suguhan kata-kata nan menawan, buku ini adalah jawabannya. Meski demikian, bagi anda yang betul-betul ingin menikmati puisi-puisi Rendra, anda harus sedikit menahan keluh sebab buku ini terlalu banyak memuat biografi Sang Penulis, yang mana hampir memenuhi dari sepertiga buku kumpulan puisinya ini. Selamat Mengapresiasi!

Komentar