Bumi
Siliwangi, SAMBADA
Riuh
ratusan penonton terdengar dari segala penjuru. Meski Kamis malam (21/11) semakin
larut, tak nampak adanya penonton yang bergegas meninggalkan ruangan
pertunjukan. Dengan setianya, meraka tetap menunggu suguhan drama berjudul
“Jeblog” besutan sutradara muda Yosef M. Ibrahim. Bahkan, mereka rela lesehan
serta berjejalan dengan penonton lain demi menyaksikan pertunjukan dari anggota
Sanggar Mahasiswa Basa Sunda (SAMBADA) ini. Tak henti samapi di situ, alunan musik
live dari group musik Wiharma yang mengolaborasikan alat-alat musik tradisional
dengan moderen menyatu menjadi irama-irama yang kemudian dengan setia mengiringi
adegan para tokoh di atas pentas.
Di
atas pentas, keanehan demi keanehan terus terjadi. Sesosok perempuan dengan
tiba-tiba bisa memasuk sel, serta kemudian menjelma menjadi Nyi Putri Bulan
yang selalu menemani kesepian Dalka. Lain lagi dengan Sarwani, perempuan misterius
itu menjelma menjadi sosok Ratna, isteri yang harus rela ia tinggalkan. Tak
jauh berbeda dengan Dalka dan Sarwani, Burhan pun merasakan hal yang sama.
Ketika kesepian menderanya, perempuan itu datang lantas dengan begitu
bersahabatnya nmendengar keluhan-keluhan Burhan.
Di
babak-babak awal, penonton dibuat penasaran dengan sosok perempuan aneh
tersebut. Hingga akhirnya dalam sebuah adegan, Dalka dan Sarwani memergoki
perempuan itu sedang asyik berbincang
dengan Burhan. Sontak Dalka tak terima menyaksikan Nyi Putri Bulannya
bercengkrama dengan lelaki lain. Begitu
pun Sarwani, ia tak terima jika isterinya Ratna disebut-sebut Dalka sebagai Ibunya. Demikian pula Burhan, dia bersikukuh beranggapan perempuan yang ada
dihadapannya adalah Kasimpe, sahabat yang selalu menemani dirinya.
Kebingungan
akan jati diri perempuan itu terus terjadi. Dalka, Sarwani, dan Burhan
sama-sama memperebutkan seorang perempuan dengan tiga sosok berbeda. Hingga
ahirnya perempuan itu mengakui jat diri yang sesungguhnya. Dengan lantang ia
menjelaskan bahwa sebtulnya ia adalah Nyi Putri Bulan, dia juga adalah Ratna,
dan dia juga adalah Kasimpe. Dia adalah hanyalah sebuah penjelmaan dari ilusi
mereka sendiri. Dalka, yang begitu menyayangi ibunya sendiri hingga dia
membunuh habis lak-laki hidung belang yang telah meniduri ibunya. Sarwani yang
harus terpisah dengan Ratna karena dia harus mendekam di penjara dikarenakan
telah membunuh orang-orang yang telah mengasingkan keluarganya karena statusnya
sebagai turunan komunis. Serta Burhan
yang harus berpisah dengan keramaian karena dirinya terjerumus terorisme. Ya,
tiada lain perempuan itu hanyalah sebuah ilusi dari diri mereka sendiri.
Selain
kebingungan akan alur cerita yang disajikan, penonton pun dibingungkan dengan
latar tempat pementasan tersebut. Jika tak ada dialog yang menyebutkan bahwa
mereka sedang dipenjara, sulit kiranya bagi penonton memahami latar
adegan-adegan yang disajikan. Selain itu, kostum yang dikenakan para aktor pun
sama sekali tidak mencirikan seorang narapidana yang siap menjalani eksekusi
mati.
Pementasan pun usai, sorak serta tepuk tangan kepuasan dari penonton menggema di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Namun demikian, seorang apresiator yang juga seorang dosen di Jurusan Psikologi UPI Bapa Drs. Mif Baihaqi, M.Si menyayangkan pementasan drama sebagus itu dipentaskan di tempat yang kurang layak. Menurutnya, pementasan drama ini seharusnya didukung pula dengan panggung yang refresentatif. Dan memang disesalkan, hingga kini kampus sebesar UPI belum mempunyai tempat yang refresentatif untuk sebuah pementasan. “Jika saja Rektor dan dekan FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni -red) datang, merekalah yang akan tertampar,” jelasnya.
Harapan besar untuk mempunyai gedung pementasan yang lebih memadai ini langsung disambut sorak tepuk tangan dari para penonton yang telah sudi berjam-jam lesehan demi menyaksikan pementasan ini. [Tatang Zaelani Tirtawijaya]
Pementasan pun usai, sorak serta tepuk tangan kepuasan dari penonton menggema di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Namun demikian, seorang apresiator yang juga seorang dosen di Jurusan Psikologi UPI Bapa Drs. Mif Baihaqi, M.Si menyayangkan pementasan drama sebagus itu dipentaskan di tempat yang kurang layak. Menurutnya, pementasan drama ini seharusnya didukung pula dengan panggung yang refresentatif. Dan memang disesalkan, hingga kini kampus sebesar UPI belum mempunyai tempat yang refresentatif untuk sebuah pementasan. “Jika saja Rektor dan dekan FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni -red) datang, merekalah yang akan tertampar,” jelasnya.
Harapan besar untuk mempunyai gedung pementasan yang lebih memadai ini langsung disambut sorak tepuk tangan dari para penonton yang telah sudi berjam-jam lesehan demi menyaksikan pementasan ini. [Tatang Zaelani Tirtawijaya]
Komentar
Posting Komentar