Impilkasi dari
kebijakan-kebijakan Otonomi Daerah sudah tak asing lagi kita rasakan, tepatnya
dimulai di penghujung era 90-an dimana saat itu semangat reformasi sedang
begitu membara. Semangat reformasi yang mana kemudian melahirkan sebuah bentuk
pemerintahan baru itu tiada lain karena hampir tiga puluh tahun lebih,
masyarakat di Indonesia (daerah) harus sudi menyaksikan pembangunan yang selalu
berkonsentrasi di pemerintahan pusat.
Pemerintahan
sentralistis yang dijalankan masa Orde Baru (Orba) itu rupanya mendapat
perlawanan keras dari para pengikut setia teorema desentralisasi yang
dicetuskan oleh Oates. Oates menyebutkan bahwa “setiap pelayanan publik
mestinya disediakan oleh yuridiksi tertentu yang memiliki kontrol atas wilayah
geografi minimum yang akan menginternalisasi manfaat dan ongkos provisi
tertentu.” Hal ini mengingat:
·
pemerintah daerah memahami apa yang menjadi concern
penduduknya;
·
pembuatan keputusan akan lebih responsif kepada
pihak-pihak yang diberikan pelayanan, dengan demikian akan ada tanggung jawab
anggaran dan efisiensi, khususnya apabila pendanaan pelayanan pun
didesentralisasikan;
·
layer-layer yang sekiranya tidak bermanfaat dapat
dieliminir; dan
·
kompetisi dan inovasi akan ada di antara berbagai
yuridiksi. Disamping itu, pemerintah pusat tidak mungkin dapat mencapai
keadilan sosial dan ekonomi masyarakat hanya dengan mengandalkan kapasitasnya
sendiri.
Kemudian, ajaran
Oates tersebut tak membutuhkan waktu lama untuk segera diterima oleh masyarakat
Indonesia, lebih tepatnya masyarakat di daerah mengingat geografis negara ini
yang begitu luas hampir menyamai luas daratan Eropa. Tak ayal, kesenjangan pun
terjadi dimana-mana. Ahirnya, mau tak mau negara kita harus mengikuti bentuk
lain dari pemerintahan federal seperti di Negara U.S.A yaitu dengan menerapkan
kebijakan Otonomi Daerah (Otda).
Jika sedikit
saja kita mengingat-ngingat ketercapaian dari tujuan otonomi daerah itu, lantas
dalam hal apakah ketercapaiannya selama lebih kurang 15 taun kebijakan itu
sudah dikenalkan di negara ini. Hemat saya, bidang keuangan justru malah lebih
rawan ketika kebijakan Otda ini mulai diterapkan. Kewenangan daerah yang lebih
besar dalam pengelolaan keuangan akan mengarah pada kecenderungan pemerintah
daerah untuk melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi.
Dengan skenario
semacam ini, tentuk akan banyak daerah otonom terjebak dalam pola tradisional
pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan
retribusi karena tiak ada lagi sumber pendapatan lainnya dari pemerintah pusat.
Bagaimana dengan keadaan yang dialami daerah di pesisir pantai selatan Tasikmalaya?
Bukankah pemerintah daerah tak mampu berbuat banyak ketika berton-ton pasir
besi dikeruk oleh para pengusaha setiap harinya. Jalan-jalan pun rusak parah
akibat dari puluhan bahkan ratusan truck-truck pengangkut pasir besi yang hilir
mudik. Kerusakan alam pun menjadi pemandangan yang harus disaksikan masyarakat
sekitar akibat dari pemaksimalan SDA di sana.
Pemerintah
daerah tak mampu berbuat apa-apa. Mereka terjebak dalam dua pilihan yang
sama-sama membingungkan. Di lain sisi
mereka harus mendapat dana untuk pemasukan daerah, sementara di sisi lainnya
mereka harus rela menyaksikan kerusakan-kerusakan alam yang diakbiatkan para
pengusaha pasir besi tersebut.
Bidang lainnya
adalah bidang politik. Ketika kebjakan pemerintah tak lagi terikat oleh
peraturan pemerintah pusat, maka akan cenderung membuat kebijakan-kebijakan
seenaknya. Jika kesewenang-wenangan para aparatur pemerintah daerah itu
dibiarkan maka yang terjadi adalah seperti contoh kasus di atas. Selain contoh
kasus tersebut, tentu dikhawatirkan ada Ratu Atut baru yang mana
menyalahgunakan kekuasaannya. Yang lebih mengkhatirkan lagi adalah ketika suatu
daerah diberikan otonomi, maka tak beda dengan menabur benih terbentuknya
kerajaan-kerajan kecil yang mana ketika sedikit saja terusik, bisa berbalik
menjadi musuh pemerintah pusat (merenggangkan persatuan) seperti kasus yang
mendera Yogyakarta.
Memang seperti itulah yang akan terjadi ketika suatu
daerah bersikeras untuk mengotonomikan daerahnya. Ketika dihadapkan kepada
sumber daya minim, masyarakat pula lah yang akan menjadi objek sasarannya.
Seperti contoh di atas yang mana pemerintah begitu hobi mengenakan retribusi
dan pajak pada kegiatan apa pun yang dilakukan masyarakat. Intinya, saya
mencatat kelemahan sistem ini yaitu seperti lepas tanggungjawabnya peran
pemerintah pusat terhadap warganya di daerah.
BAGAIMANA DENGAN TASIK
SELATAN?
Kontroversi pemekaran Kabupaten Tasikmalaya menjadi
Kabupaten Tasikmalaya Selatan (Jatiwaras, Salopa, Cikatomas, Karangnunggal,
Cikalong, Cipatujah dan Bantarkalong) terus berjalan alot. Barangkali bagi
mereka yang setuju adalah dengan alasan pelayanan publik yang lebih efisien,
mengingat luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya yang cukup luas. Selain itu,
disinyalir adanya pasir besi disepanjang pantai selatan membuat para pendukung
kemekaran ini begitu mantap ingin berpisah dari kabupaten Tasikmalaya.
Selain luasnya geografis Tasikmalaya, yang tak kalah
pentingnya adalah memikirkan kembali wacana tersebut. Jika dirunut, darimanakah
sumber utama penghasilan daerah jika wacana tersbut benar-benar terwujud?
Bukankah pantai di pesisir Tasikmlaya Selatan tak terlalu memukau wisatawan tak
seperti pantai di Kabupaten Pangandaran? Atau samapai kapan pendukung pemekaran
wilayah ini akan tetap bergantung pada hasil pajak pengerukan pasir besi?
Bukankah yang sekarang terjadi justru kerusakan alam yang ditimbulkan akibat
pengerukan itu? Ribuan kilometer jalan rusak parah dikarenakan mondar-mandirnya
truk-truk pengangkut pasir besi. Betul-betul tak sebanding dengan pemasukan
yang didapat pemerintah.
Seyogyanya masyarakat di Tasikmalaya Selatan tak usah
terburu-buru terdoktrin propaganda-propaganda kelompok-kelompok yang
bercita-cita membentuk daerah baru tersebut. Masyarakat hendaknya sadar dan
menyadari apa kepentingan dari kelompok tersebut ingin membuat daerah otonom
baru itu. Betul, kenapa? Kenapa harus berpisah? Apa yang salah dengan
pemerintah kabupaten saat ini? Itulah yang seharusnya ada dalam benak setiap
masyarakat. Apakah benar-benar karena merasakan kesenjangan social antara pusat
dan daerah, atau hanya permainan politik mereka yang mendamba kekuasaan?
Entahlah*
Komentar
Posting Komentar