Kini, spirit
otonomi tengah menjadi wacana yang “membahana” dan didengungkan dari berbagai
penjuru negeri. Tidak saja sektor pemerintahan, sektor pendidikan pun ikut-ikutan
latah mendamba kebebasan ini. Alasannya tiada lain karena semua orang
memercayai bahwa dengan cara inilah kepesatan pembangunan bisa terwujud. Hal
itu diperkuat dengan teorema desentralisasi yang dicetuskan Oates. Ia
menyebutkan bahwa “setiap
pelayanan publik mestinya disediakan oleh yuridiksi tertentu yang memiliki
kontrol atas wilayah geografi minimum yang akan menginternalisasi manfaat dan
ongkos provisi tertentu.”
Celah besar tersebut lantas diikuti oleh beberapa Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) yang kemudian mengajukan kebjakan-kebijakan bersifat
otonomi. Tentu kita masih ingat betapa bahayanya Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (UU-BHP) jika jadi diketok palu. Namun, kekhawatiran kita nampaknya
akan terus ada selama kebijakan-kebjakan berbau otonomi itu masih berhembus.
Ya,
meskipun Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP) tak
sampai menjelma menjadi sebuah
Undang-Undang –Ditolak Mahkamah Konstitusi--, namun spirit otonomi yang
terkandungnya tak henti berhembus kencang. Ruh komersialisasi tetap mengisi
jasad lain dalam bentuk berbeda yaitu status beberapa PTN yang “ngotot” untuk
menerapkan pola keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Sebagaimana diketahui,
dengan adanya BLU ini, fasilitas-fasilitas PTN kini tidak hanya bisa dinikmati
civitas akademik, namun juga mulai di go-publikkan.
Sama halnya dengan masa pemerintahan Otda, UU-BHP ini
pun menuai pro-kontra yang begitu alot. Di lain sisi, kubu yang pro beralasan bahwa UU-BHP itu
mampu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia karena bisa terlepas dari
interfensi birokrasi pemerintah pusat yang berbelit-belit. Sementara itu, bagi
kubu yang menentang kebijakan ini menilai bahwa UU-BHP adalah bentuk lepas
tanggungjawabnya pemerintah pusat terhadap pemenuhan hak pendidikan rakyatnya.
Sama halnya dengan Otda, dengan status BHP ini, subsidi pendidikan akan semakin
kecil atau bahkan dihapuskan sama sekali. Jika demikian maka siapa yang akan
membiayai seluruh kebutuhan pendidikan di PTN? Masyarakat? Entahlah*
UU-BHP memang urung disahkan, namun bereinkarnasi
dalam bentuk yang sama menakutkannya yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Dengan status BHMN yang diperoleh beberapa PTN (sebelum ahirnya dibubarkan dan
diganti menjadi PTP) maka biaya pendidikan yang meroket untuk jurusan-jurusan
paling diminati pun seolah menjadi konsekuensi yang musti diterima. Tentu hal
ini sangat bertentangan dengan Pasal 28C UUD 1945 “Setiap orang berhak
mngembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan
pendidikan.” Lanjut lagi Pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Setiap warga
Negara berhak mendapat pendidikan.” Serta UU. No. 20 Tahun 2003 Pasal 5 ayat
(1), “Setiap warga negara punya hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu.”
Konklusi
Baik Otonomi Daerah (Otda) maupun Otonomi Kampus –BHP
atau pun BHMN—sama-sama mengarah pada pelepasan tanggungjawab negara dari
pemenuhan kebutuhan dasar warganya. Dampak yang langsung terlihat yaitu
kurangnya subsidi, baik pendidikan maupun ekonomi sehingga pemasukan akan
semakin minim. Ketika hal itu terjadi, mau tidak mau rakyatlah yang terpaksa
harus memenuhi kekurangan itu agar kebutuhan pemerintah maupun pendidikan bisa
tertutupi.
Dalam menyikapi kedua kebijakan tersebut, tentunya kita harus mencari
jalan cerdas melalui pengelolaan sumber daya yang dimiliki PTN maupun
Pemerintah Daerah berupa Sumber Daya Manusia yang andal agar mampu
mengoptimalkan Sumber Daya Alam yang tersedia. Selain memang dari usaha meluruskan
kembali aparatur-aparatur “memble” yang sampai kini masih berkeliaran bebas.
Komentar
Posting Komentar