Menyoal Pencapaian, Kebebasan Berpendapat
Oleh Tatang Zaelani Tirtawijaya
“Aku tulis pamflet ini
Karena lembaga pendapat umum
Ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam
kasak-kusuk
Dan ungkapan diri ditekan
Menjadi peng-iya-an,”
(Aku Tulis Pamflet Ini -W.S Rendra)
Diam adalah
emas. Sebuah
pepatah yang tak asing lagi di telinga kita. Namun, apalah arti sebongkah emas
jika tak mampu mendatangkan sebuah kebahagiaan. Begitu pula dengan diam, tak
akan pernah menjadi sebongkah emas tatkala hanya menghadirkan sebuah
kesengsaraan. Apa yang dikemukakan Rendra dalam kutipan syair di atas mewakili
jeritan hati kaum terpinggir yang selalu terhalang untuk menyampaikan
aspirasinya. Teriakan yang berasal dari seluruh pelosok negeri itu, kian
membahana di era orde baru. Pers, yang mana dalam syairnya Rendra memakai kata
lembaga pendapat hukum kehilangan ruhnya. Kala itu, Pemberedelan media massa
semakin sunter terdengar. Pers dibelenggu, diintervensi, serta dipaksa
mengikuti permainan politik pemerintah yang didalangi Sang Bapak Pembangunan.
Soeharto, sebagai aktor utama
kala itu, telah melupakan status negeri tercinta
ini sebagai negara hukum. Dibawah kendalinya, negara yang seharusnya melakukan
upaya penegakan, pemenuhan serta pemajuan terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia
(HAM) dalam lingkungan berbangsa dan bernegara, malah disulap menjadi sebuah
negeri yang begitu mengerikan. Selama kurun waktu tiga dekade, pers dipaksa untuk tidak
menerbitkan berita-berita miring tentang bobroknya aparatur pemerintah. Tak
tanggung-tanggung, Soeharto pun memberikan tugas penuh kepada Departemen
Penerangan agar melakukan pengawasan terhadap perkembangan pemberitaan pers.
Bahkan, tak ada tawar menawar lagi antara pemerintah dan lembaga pers. Jika
suatu media massa ingin tetap hidup, mau tak mau mereka harus mengikuti
permainan pemerintah yakni menerbitkan pemberitaan-pemberitaan “dusta” yang
sangat bertentangan dengan kode etik jurnalistik.
Selain karena Indonesia sebagai negara
hukum, Negara Indonesia adalah negara demokrasi, dimana secara hirearki kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat. Hal itu sangat jelas termaktub dalam
konstitusi Indonesia, UUD 1945. Dan hanya sebuah omong kosong apabila demokrasi
ini tanpa adanya kebebasan pers. Demokrasi hanya akan terwujud apabila rakyat
mampu berinteraksi dengan pemerintah, ikut mengawasi, serta memberi masukan. Dan
tiada lain media massa lah sarananya. Bahkan, seorang penulis berkebngsaan
Perancis pernah menulis, “With newspapers, there is sometimes disorder, without them, there
is always slavery”. Tulisan tersebut mengisyaratkan bagaimana pentingnya sebuah
kebebasan bagi pers. Tanpa media massa (pers), akan selalu ada perbudakan,
meski memang kadang-kadang pers menjadi sebuah gangguan.
Kegersangan informasi yang didera
zaman Orba itu, akhirnya kandas di penghujung tahun 90-an, ketika rezim sang
penguasa digulingkan gerakan mahasiswa. Kran kebebasan berpendapat kembali
terbuka, mengalirkan informasi-informasi ke seluruh pelosok penjuru negeri.
Kehausan yang melanda selama tiga puluh tahun lebih, akhirnya terobati. Pers
menggeliat, dan membawa secercah impian yakni sebuah kebebasan. Dan benar saja,
rakyat benar-benar diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya di muka
umum, sebagimana tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.
Seperti Apa Wujud Perubahan Itu?
Beberapa orang meyakini bahwasanya tanpa adanya kebebasan berbicara,
kebenaran itu akan lenyap. Sebab, sejatinya sebuah kebenaran itu adalah
ditemukan, tidak datang dengan sendirinya. Dengan mengasumsikan bahwa kebenaran
dapat ditemukan, maka kebebasan berbicara adalah penting. Dan sekali pun tidak
ada kebenaran yang harus ditemukan, kebebasan berbicara tetap masih penting
sebagai satu-satunya alat yang tersedia untuk memilih yang terbaik dari yang
terburuk.
Maka tak heran ketika pemerintahan otoriter Soeharto berkuasa, sejumlah
perlawanan terjadi hampir di seluruh penjuru negeri. Perlawanan-perlawanan yang
dilakukan rakyat Indonesia kala itu, bukanlah sebuah pencapaian yang begitu
mudah. Mahasiswa, yang saat itu berperan sebagai motor penggerak tak lagi
menghiraukan resiko yang dihadapinya. Mereka tak bergeming meski daftar korban
akibat ‘pembantaian’ aparat keamanan semakin tak terhitung jumlahnya.
Keberanian para mahasiswa itu semakin membara, hingga pada akhirnya mereka
berhasil menduduki gedung Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) dan menuntut anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengadakan sidang istimewa. Dan sebuah momentum
yang kemudian dicatat tinta sejarah terjadi. Tepat pada tanggal 21 Mei 1998,
Soeharto mengumumkan pemunduran dirinya dari jabatan penguasa negeri. Ya,
perjuangan panjang yang akhirnya menghasilkan buah manis.
Lalu sekarang, setelah dimilikinya kebebasan
berpendapat itu, apakah terjadi perubahan di tubuh Indonesia? Atau justru lebih
kabur dari pandangan? Padahal, entah berapa juta kata yang terlontar dari
mulut-mulut jelata tiap harinya. Kata-kata yang kemudian menyambangi
persemaiaman sang penguasa dan kroni-kroninya itu bukan tak mereka dengar.
Sebab tentu mereka pun tak tuli untuk mendengar jeritan-jeritan itu. Namun apa
daya, perubahan yang dinanti tak jua datang.
Tengok saja praktik Korupsi, Kolusi, serta
Nepotisme (KKN) yang identik dengan zaman Orba, apakah telah bersih dari
pemerintahan sekarang? Atau pun harga-harga sekarang, apakah jauh lebih murah
ketimbang zaman Orba? Bukankah “harga” pendidikan pun justru semakin mahal? Dan
jika saya ditakdirkan tuhan menjadi bagian dari mereka, sang pejuang kebebasan berpendapat,
tentu saya akan sangat pedih melihat kenyataan ini. Bahkan, saya tak akan segan
untuk menuntut para generasi muda tentang pencapaian dari kebebasan berpendapat
yang telah diperjuangkan dulu. Akhirnya, timbul sebuah pertanyaan mendasar bagi saya, apakah memang benar
bahwa kebebasan berpendapat itu adalah sebuah jalan untuk mencapai masyarakat
impian? Kitalah yang harus menjawabnya, generasi muda!
Komentar
Posting Komentar